KATA
PENGANTAR
Segala puji hanya milik
Allah SWT, yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah ini dengan penuh
kemudahan. Tanpa pertolongan-Nya, mungkin saya tidak akan sanggup menyelesaikan
dengan baik. Tak lupa, shalawat serta salam semoga tercurah kepada junjungan besar, Nabi Muhammad
SAW, para sahabat dan orang-orang yang setia meneladani Beliau. Makalah ini
disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Qur’an, serta dapat menjadi sumber referensi
bagi pembaca mengenai Islam di Indonesia. Kami juga mengucapkan terima kasih
kepada bapak dosen, yang menjadi
sumber inspirasi sekaligus banyak membantu dalam penulisan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca,
khususnya wawasan tentang Agama Islam. Kami mohon untuk saran dan
kritiknya.Terima Kasih
Banda
Aceh, 24 januari 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Dakwah
adalah sebagai intepretasi konvensional yang umum berlaku pada umat islam.
Diartikan secara prakmatis dengan tablig yaitu aktifitas penyampaian ajaran
islam baik secara lisan maupun secara tulisan. Konsepsi dakwah bahwa masyarakat
adalah sebuah sasaran yang harus diubah baik secara individual atau secara
kelompok, kelemahan Mad’u adalah suatu kewajiban yang harus diketahui oleh Da’i
supaya apa yang disampaikan oleh Da’i sesuai dengan keadaan.
Dan
dakwah memiliki beberapa pola pendekatan yang harus diketahui oleh Da’i antara
lain:
·
Dakwah struktural
·
Dakwah kultural
·
Dakwah sentripetal dan
sentrifugal
·
Dakwah rasional
·
Dakwah tranformatif
Pelaksanaan
dakwah merupakan suatu mandat yang secara normatif menjadi bagian suatu ibadah
yang penting dalam islam dan menjadikan orang yang melaksanakannya mendapat pahala serta
tergolong kepada orang yang beruntung. Perintah berdakwah diturunkan menjadi
dua konsekwensi yaitu fardhu kifayah dan
fardhu ai’n. Realitas membuktikan
bahwa dakwah merupakan kebutuhan dalam masyarakat sekaligus menjadi strategi
pengembangan masyarakat yang sangat efektif.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Dakwah Struktural
Dakwah
Struktural adalah gerakan dakwah yang berada dalam kekuasaan. Aktivis dakwah
ini memanfaatkan struktur sosial, politik maupun ekonomi untuk mendakwahkan
ajaran Islam. Jadi, dalam teori ini, negara dipandang sebagai alat yang pailing
strategis untuk berdakwah. Di dalam dakwah struktural ini telah menyatakan
suatu tesis bahwa dakwah yang sesungguhnya adalah aktivisme Islam yang berusaha
mewujudkan negara yang berasaskan Islam.
Perkembangan
dakwah struktural ini sudah dapat ditemukan pada gerakan politik umat Islam
pada masa klasik. Sebagai contoh adalah penggulingan dinasti Umayyah dari kursi
kekhalifahan yang dilakukan oleh eksponen dinasti abbasyiah yang mana itu
dianggap sebagai gerakan dakwah. Hal yang sama juga telah dilakukan oleh Syi’ah
Islamiyyah. Gerakan politiknya yang diawali dengan pengiriman para aktivis
politik ke Afrika Utara sebagai langkah strategis bagi persiapan pembentukan
dinasti Fatimiyyah yang akan didirikan di sana. Bahkan, istilah dakwah juga
telah dipakai untuk menyebut wilayah politik dinasti Fatimiyyah.[1]
a. Konsep
Dakwah Struktural
Dakwah
Struktural menekankan pada tercapainya tujuan dakwah tersebut.
Ciri
dari dakwah ini adalah :
1. Menggunakan
rasionalisasi akal dari pada dalil.
2. Lebih
menekankan pemaksaan dan kondisi sehingga sang mad’u belum tentu memiliki kesadaran.
3. Mengharuskan
sang dai masuk ke struktur.
Contoh
dakwah struktural ini adalah : Ikhwah di Struktur kampus
membuat kebijakan untuk mencegah acara yang berbau maksiat Misal membuat jam
malam.
·
Menyikapi Dakwah Kultural dan Struktural
Dakwah
Kultular dan dakwah struktural masing-masing berbeda. Masing-masing mempunyai
strategi sendiri-sendiri dalam penguatannya. Jika kedua dakwah ini bergabung
maka dakwah akan melengkapi satu sama lain. Namun dalam penerapannya, kedua
dakwah ini pun tidak terlepas dari berbagai masalah. Sebagai contoh adalah
permasalahan ekonomi. Ketidak merataan ekonomi membuat kedua dakwah ini
mengalami hambatan. Selain dari permasalahan ekonomi tersebut mengakibatkan
ketimpangan pertumbuhhan agama di Indonesia. Setidaknya ada dua hal yang dapat
kita cermati dari masalah-masalah tersebut yaitu : pertama, adanya
“efektivitas” dakwah suatu agama yang ternyata tumbuh lebih cepat dengan
didukung oleh penerapan metode dan sarana yang memadai. Kedua, di lain pihak
khususnya dalam umat Islam, terjadi situasi “ketinggalan” seperti ditunjukkan
oleh penurunan relatif dari pemeluknya yang disebabkan oleh kurangnya
pengkajian penerapan metode dakwah “tepat guna dan kreatif” serta kurangnya
sarana yang memadai.
Selain
dari masalah-masalah di atas, ada pula masalah-masalah lain yang ditimbulkan,
yaitu :
1. Adanya
oerientasi ekslusif yang ikut memperkokoh dikotomi santri dan non santri.
2. Lemahnya
pranata dan mekanisme jaringan yang menghubungkan antar subkultural di
masyarakat.
3. Adanya
potensi yang masih belum cukup dikembangkan, untuk umat Islam di antaranya
dalam rangka mengembangkan pendidikan pesantren.
4. Tenaga
kerja yang melimpah dan keterbatasan lapangaan pekerjaan.
Tentunya
masalah-masalah yang menghambat dakwah bukan saja permasalahan-permasalahan
yang tertera di atas. Namun tentunya masih banyak lagi
permasalahan-permasalahan yang bisa kita kaji sendiri. Kemudian, dalam menyikapi
berbagai masalah di atas, seorang subjek dakwah harus pandai-pandai mengambil tindakan
dalam menyelasaikan masalah-masalah di atas.
Al-Quran
dan Sunnah memuat ajaran yang menuntut setiap muslim untuk berdakwah, baik
dalam arti sempit maupun luas. Dalam pengertian luas, dakwah bukan hanya, menjadi
tuntutan agama semata, tetapi juga tuntutan kemanusiaan dan kebenaran
universal. Kemudian dalam pengertian sempit yaitu dalam penyelesaian
problem-problem kemanusiaan yang mana di dalamnya termasuk problem sosial.[2]
Berikut
adalah beberapa strategi di mana dakwah bisa menyelesaikan problem-problem yang
ada :
1. Dakwah
harus dimulai dengan mencari kebutuhan masyarakat. Kebutuhan yang dimaksud
adalah kebutuhan secara objektif dan kebutuhan yang dirasakan masyarakat
setempat yang perlu mendapat perhatian.
2. Dakwah
dilakukan secara terpadu.
3. Dakwah
dilakukan dengan pendekatan partisipasi dari bawah. Hal ini bertujuan bahwa ide
yang ditawarkan mendapat kesepakatan masyarakat.
4. Dakwah
dilaksanakan melalui proses sistematika pemecahan masalah.
5. Dalam
berdakwah gunakanlah teknologi yang sesuai dan tepat.
6. Program
dakwah dilaksanakan melalui tenaga dai yang bertindak sebagai motivator.
7. Dakwah
didasarkan atas asas kerjasama. Hal ini bermaksud bahwa dakwah harus berangkat
dari kemampuan diri sendiri dan kerjasama dari potensi-potensi yang ada. Dan
bentuan dari pihak luar hanya dijadikan menjadi pelengkap saja. [3]
B. Dakwah
Kultural
Dakwah
kultural adalah Dakwah yang dilakukan dengan cara mengikuti budaya-budaya
kultur masyarakat setempat dengan tujuan agar dakwahnya dapat diterima di
lingkungan masyarakat setempat.
Dakwah
kultural juga bisa berarti: Kegiatan dakwah dengan memperhatikan potensi dan
kecenderungan manusia sebagai makhluk budaya secara luas dalam rangka
menghasilkan kultur baru yang bernuansa Islami atau kegiatan dakwah dengan
memanfaatkan adat, tradisi, seni dan budaya lokal dalam proses menuju kehidupan
Islami.
Dakwah
kultural ini hukumnya sah-sah saja asal tidak bertentangan dengan nilai-nilai
syar’i yang sudah baku, misalnya masalah aqidah. Sebab apabila dakwah yang kita
anggab kultural ini kemudian kita salah menafsirkannya, maka yang terjadi
adalah kefatalan. Misalnya saja kita berdakwah dengan harus mengikuti budaya
agama lain yang dapat menggugurkan nilai aqidah kita, maka dakwah semacam ini
tidak boleh dilakukan.
Sejarah
dakwah kultural sebagaimana yang dilakukan di awal Islam masuk ke wilayah Jawa,
dimana bangsa Indonesia saat itu kaya dengan tradisi animisme dan dinamisme,
maka para pelaku dakwah kita yang terlalu lentur dalam menjalankan dakwah
kulturalnya mengakibatkan ajaran Islam yang sudah sempurna menjadi terkotori
oleh budaya setempat. Hal ini merupakan kesalahan fatal yang tidak boleh
dicontoh dalam melakukan dakwah.
Semaraknya
ibadah bid’ah yang ada sekarang adalah merupakan warisan dari metode dakwah
kultural yang diterapkan tanpa memperhatikan nilai-nilai aqidah. Sementara itu
bagi penggemar bid’ah yang merasa itu sudah benar sulit diingatkan. Demikian
juga dengan ulama’ ahlul bid’ahnya, mereka tidak berani mengatakan yang
sebenarnya bahwa ibadah yang dilakukan itu bertentangan dengan nilai nilai
aqidah Islam. Semoga allah memberikan ampunan bagi para da’i kita, yang kami
yakin bahwa, mereka tidak punya tujuan untuk mewarisi bid’ah sebagaimana yang
banyak di anut oleh kelompok ahlul bid’ah sekarang.
Dakwah
kultural sebenarnya merupakan metode yang baik untuk dilakukan baik di
masyarakat desa maupun di lingkungan masyarakat kota, baik yang berfikiran
primitif maupun yang sudah modern.
KH.
Ahmad Dahlan termasuk sosok muballigh yang dalam menyampaikan dahwahnya dengan
menggunakan metode dakwah kultural pada sekitar tahun 1912-san. Karena beliau
menyadari bahwa metode dakwah yang tepat saat itu hanyalah metode dakwah
kultural. Namun karena kehati-hatiannya dengan masalah aqidah, walaupun
menggunakan metode dakwah kultural, tetap nilai-nilai Islam tidak terlukai oleh
model dakwah yang dilakukan. Justru sebaliknya dengan dakwah itulah, maka
beliau dapat membersihkan nilai-nilai ajaran Islam dari pengaruh budaya
kultural setempat. Model dakwah kultural sebagaimana diterapkan KH. Ahmad
Dahlan inilah yang harus kita contoh :
·
Contoh dakwah kultural
Islam sebagai agama yang menyebar ke
seluruh penjuru dunia tampil secara kreatif berdialog dengan masyarakat
setempat (lokal), berada dalam posisi yang menerima kebudayaan lokal, sekaligus
memodifikasinya menjadi budaya baru yang dapat diterima oleh masyarakat
setempat dan masih berada di dalam jalur Islam. Karena itu, Islam telah
mengubah kehidupan sosio-budaya dan tradisi keruhanian masyarakat Indonesia.
Kedatangan Islam merupakan pencerahan bagi kawasan Asia Tenggara, khususnya
Indonesia, karena Islam sangat mendukung intelektualisme yang tidak terlihat
pada masa Hindu-Budha.[4]
Islam masuk ke Indonesia melalui
jalan dakwah yang panjang yang dilakukan oleh para juru dakwah dari bebeberapa
negara, seperti bangsa Arab dan Gujarat. Dakwah Islam yang dilakukan para juru
dakwah di masa awal-awal Islam masuk ke Indonesia berhasil menaklukkan hati
masyarakat Indonesia yang waktu itu menganut agama kepercayaan, Hindu dan
Budha. Keberhasilan para juru dakwah di abad ke-16-17 itu lebih banyak
disebabkan oleh cara dakwah mereka yang menunjukkkan hubungan yang dialogis,
akomodatif, dan adaptif terhadap masyarakat setempat. Inilah yang kemudian
menyebabkan Islam mudah diterima oleh masyarakat Indonesia.
Para juru dakwah ketika itu
memainkan penting sebagai penyebar agama hingga pengayom masyarakat. Sehingga
hubungan antara juru dakwah dengan masyarakatnya sangat dekat, tanpa sekat yang
menjauhkan antara keduanya. Hal inilah yang ditunjukkan oleh gerakan dakwah
yang dilakukan Walisongo dengan memasukkan unsur-unsur Islam ke dalam budaya
lokal untuk menarik simpati dari masyarakat. Walisongo menyebarkan Islam di
Indonesia tidak dengan menggunakan pendekatan halal-haram, melainkan memberikan
spirit dalam setiap upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat. Sehingga Islam
kemudian bercampur dengan kebiasaan-kebiasaan dan adat istiadat masyarakat
secara substansial. Tak pelak lagi, kondisi inilah yang kemuduian memudahkan
penyebaran Islam ke segala dimensi kehidupan masyarakat.
Dalam sejarah memang, juru dakwah
pada awalnya menjadi kultural broker atau makelar budaya (Clifford Geertz).
Bahkan, berdasarkan penelitiannya di Garut, Hiroko
Horikoshi (1987) memberi penegasan, bahwa peran kyai sekaligus sebagai juru
dakwah tidak sekadar sebagai makelar budaya, tetapi sebagai kekuatan perantara
(intermediary forces), sekaligus sebagai agen yang mampu menyeleksi dan
mengarahkan nilai-nilai budaya yang akan memberdayakan masyarakat. Fungsi
mediator ini dapat juga diperankan untuk membentengi titik-titik rawan dalam
jalinan yang menghubungkan sistem lokal dengan keseluruhan sistem yang lebih
luas (Wolf, 1956), dan sering bertindak sebagai penyanggga atau penengah antara
kelompok-kelompok yang saling bertentangan, menjaga terpeliharanya daya pendorong
dinamika masyarakat yang diperlukan (Wolf, 1956).[5]
Berdasarkan fungsi ini, para juru
dakwah memiliki basis yang kuat untuk memerankan sebagai mediasi bagi perubahan
sosial melaui aktivitas pemberdayaan (umat), seperti advokasi terhadap
pelanggaran hak-hak rakyat oleh negara. Contoh yang paling konkret adalah
ketika KH. Basith mengadvokasi petani tembakau di Guluk-Guluk Madura. KH.
Basith sebagai kyai dan juru dakwah mampu memainkan peran ganda; sebagai ahli
agama sekaligus sebagai pendamping masyarakat yang sedang mengalami problem
sosial. Ini adalah bentuk dari peran juru dakwah sebagai agen perubahan sosial.
C.
Dakwah
sentripetal dan sentrifugal
Secara bahasa Hornby memberikan definisi
sentripetal adalah “moving or tending to
move toward a centre” (berpindah atau kecenderungan bergerak menuju pusat )[6].
Sedangkan sentri fugal adalah “ moving or
tanding to move away from a centre” [7]
(berpindah atau cenderung bergerak menjauhi
pusat ).
Istilah sentrifugal dan sentripetal
diderivikasi dari hukum gaya newton (sering disebut hukum Newtom 1 dan 3) dalam
ilmu fisika . Ensiklopedi Nasional Indonesia
menjelaskan bahwa benda yang bergerak kecuali ada gaya lain yang bekerja
padanya. [8] Jika
suatu benda diharapkan bergerak secara melingkar, maka dibutuhkan gaya lain
yang akan menjaga agar benda tersebut tetap pada orbitnya, maka benda tersebut
akan bergerak lurus pada kecepatan konstan[9].
Menyangkut
gaya sentrifugal dan sentripetal, dalam encyclope americana disebutkan: Bahwa
setiap hukum Newton I akan terus bergerak lurus kecuali ada gaya yang bekerja
padanya. Dengan demikian, jika suatu benda diharapkan terus melingkar maka
diperlukan gaya yang akan menjaga gerak
melingkar tersebut seperti gaya grafitasi yang mengontrol gerak satelit dan
bintang atau gaya yang digunakan tangan seseorang memutar sebuah bola pada
ujung seutas tali. Gaya inilah yang menyebabkan suatu benda tetap berputar pada
garis orbitnya yang disebut dengan gaya sentripetal. Hukum Newton III
menyatakan bahwa ketika dua buah benda saling beraksi, maka senantiasa ada
reaksi yang sama besar tetapi berlawanan arah. Dengan demikian, bersamaan
dengan gaya sentripetal yang timbul pada seutas tali ketika tangan seseorang
memutar bola, maka pada saat itu pula muncul gaya yang berlawanan (sentrifugal)
dari bola yang ingin melepaskan diri dari tangan orang tersebut. Oleh sebab
itu, gaya sentripetal dan gaya sentrifugal bukanlah dua gaya sehingga dapat
muncul secara terpisah tetapi lebih tepat dikatakan dua aspek dari satu
kejadian.
Dakwah sentripetal memposisikan Mad’u
sebagai pihak yang bebas (free consent),
kritis terhadap seruan, mengembangkan kreatifitas berfikir serta mendorong Mad’u memiliki sense of belonging terhadap aktifitas dakwah. Sense of belonging disini lebih tepat di artikan bahwa Mad’u merasa
da’wah sebagai suatu kebutuhan dasar yang mengajaknya untuk mengenal dirinya.
Yang dimaksud dengan pendekatan dakwah
sentripetal yaitu sebagai aktifitas dakwah yang berorientasi pada kepentingan
Mad’u. Artinya Mad’u memiliki peluang yang lebih besar untuk memberikan input
kepada Da’i, secara eksplisit dan implisit sehingga Da’i dapat membaca kondisi
si Mad’u secara total. Selanjutnya perencanaan dakwahnya senantiasa terhindar
dari sikap interfentif (penolakan) yang memposisi Da;i sebagai orang yang asing
sama sekali tidak terkait apa yang di rasakan dan dibutuhkan oleh Mad’u.
Sebaliknya dakwah sentrifugal dalam
konteks dakwah Islam dirumuskan sebagai suatu aktifitas dakwah yang memiliki
kecendrungan penciptaan otoritas pada pihak Da’i secara sepihak. Sifat
otoritarian inilah yang akan membelenggu pihak sasaran atau Mad’u untuk
menerima ide atau gagasan, ajakan, bahkan perintah dari Da’i secara fait accompli10otoritas da’i
dalam melakukan intervensi tersebut, cendrung menjadi Mad’u semakin menjauhi
pihak subjek itu sendiri.[10]
D.
Dakwah
Rasional
Dakwah rasional dapat dirumuskan
sebagai pola dakwah yang mengedepankan dimensi intelektualitas dalam
aktifitasnya. Dakwah rasional juga mengarah pada penggunaan intelektual secara
kritis, tidak bersifat dogmatis, serta tidak mengabaikan sikap toleransi
terhadap realitas sasarannya. Dalam kaitan ini, Dr. Muddathir Abdel-Rahim
berpendapat bahwa da’wah idealnya diarahkan pada dimensi intelektualitas dan
amosi sasaran (dakwah Islam secara komprehensif dapat diartikan sebagai
kegiatan yang diarahkan langsung pada kapasitas intelektual dan rangsanngan
manusia, baik secara individual maupun kelompok agar dapat menerima Islam
sebagai jalan hidupnya).
Pendekatan dakwah rasional
mengandung esensi mengajak umat manusia untuk berfikir, melakukan dialog
sehingga membentuk arah pikiran serta menumbuhkan kesadaran. Dakwah rasional
juga memajukannya dalam tatanan proses logis sehingga Mad’u dapat menerima
seruan Da’i secara standar, tanpa paksaan dan tekanan. Sebaliknya, bila
kesadaran Mad’u terganggu, termasuk karena kelalaian atau kesalahan penataan
proses, maka konsekwensinya adalah gagal atau berantakannya rencana dakwah itu
sendiri. Dakwah bukanlah kerja “magic” yang dapat menyulap Mad’u secara
leluasa, melainkan suatu proses pendekatan yang memberikan peluang kepada Mad’u
mempertimbangkan dan memutuskan untuk menerima atau menolakseruan. Keputusan Mad’u
tersebut terlebih dahulu melewati pertimbangan terhadap alternatif-alternatif
yang ditawarkan da’i, pertimbangan yang seksama dan objektif terhadap fakta dan
bukti yang ada.
Dakwah Rasional
disini mengacu pada upaya perumusan dakwah yang koheren dengan kemajuan sains
dan teknologi. Kemajuan sains dan teknologi yang sarat dengan gejala
rasionalisasi dan dinamisasi membutuhkkan penghayatan agama secara tekstual dan
kontekstual (teoritis dan pragmatis) sekaligus menjadi tugas dakwah yang memang
dalam aktifitasnya menyuarakan kepentingan normatifitas al-Qur’an. Pembahasan
dakwah rasional dalam tesis ini tidak sepenuhnya terkonsentrasi pada langkah
pengalaman, tetapi diharapkan akan membuka peluang-peluang asumsi-asumsi
filosofis baru terhadap dakwah secara teoritis atau menggiring dakwah pada
tataran yang aplikatif yang mampu menyuarakan persoalan-persoalan agama secara
ilmiah dan rasional. Penelitian itu sendiri akan dibatasi pada persoalan
kontruksi pesan-pesan islam terutama yang langsung bersentuhan dengan sains dan
teknologi, baik dari aspek penterjemahan pesan-pesan yang berkenaan dengan
sains dan teknologi maupun kontruksi pesan “utama” islam yang layak di tawarkan
kepada umat manusia yang sekarang tidak mungkin melepaskan diri dari dampak
kemajuan sains dan teknologi. Dakwah
Dakwah rasional menjadi sebuah
paradigma dimana nuansa aktifitasnya bergerak secara sirkular dengan melibatkan
berbagai dimensi keilmuan lain dalam kaitan memelihara keselarasan atau
paralelisme hubungan antara Da’i dan Mad’u. Dakwah pada dimensi rasionalitas bermuara
pada interaksi yang menyeluruh yang berupaya menerjemahkan pesan-pesan islam
secara totalitas serta peng-islam-an manusia dengan memanfaatkan modal fitrah
yang ada pada setiap diri manusia semenjak dilahirkan.
E. Dakwah Transformatif
Dakwah transformatif merupakan model
dakwah, yang tidak hanya mengandalkan dakwah verbal (konvensional) untuk
memberikan materi-materi agama kepada masyarakat, yang memposisikan da’i
sebagai penyebar pesan-pesan keagamaan, tetapi menginternalisasikan pesan-pesan
keagamaan ke dalam kehidupan riil masyarakat dengan cara melakukan pendampingan
masyarakat secara langsung. Dengan demikian, dakwah tidak hanya untuk
memperkukuh aspek relijiusitas masyarakat, melainkan juga memperkukuh basis
sosial untuk mewujudkan transformasi sosial. Dengan dakwah transformatif, Da’i
diharapkan memiliki fungsi ganda, yakni melakukan aktivitas penyebaran materi
keagamaan dan melakukan pendampingan masyarakat untuk isu-isu korupsi,
lingkungan hidup, penggusuran, hak-hak perempuan, konflik antaragama, dan
problem kemanusiaan lainnya.
Ada lima (5) indikator yang mesti melekat dalam dakwah
transformatif.
Ø Pertama, dari aspek materi dakwah; ada
perubahan yang berarti; dari materi ubudiyah ke materi sosial. Dalam konteks
ini, para juru dakwah sudah mulai menambah materi dakwahnya pada isu-isu
sosial, seperti korupsi, kemiskinan, dan penindasan. Sehingga para juru dakwah
tidak lagi hanya berkutat pada materi ukhrowi. Dari aspek materi juga ada
perubahan dari materi dakwah yang ekslusif ke inklusif. Para juru dakwah tidak
lagi menyampaikan materi dakwah yang memojokkan atau memusuhi non-Muslim.
Kecenderungan selama ini para juru dakwah sering menyampaikan dakwah yang
bernada permusuhan terhadap agama lain. Padahal cara ini justru mmbuat
masyarakat ikut memusuhi agama lain hanya karena agamanya yang berbeda. Oleh
karena itu, materi dakwah yang inklusif mesti menjadi kata kunci dalam dakwah
transformatif.[11]
Ø Kedua, dari aspek metodologi terjadi
perubahan; dari model monolog ke dialog. Para juru dakwah sudah berubah cara
penyampaian dakwahnya, tidak lagi menggunakan pendekatan monolog, melainkan
sudah melakukan dialog langsung dengan jama’ah. Sehingga problem yang dihadapi
masyarakat dapat langsung dicarikan solusinya oleh juru dakwah dengan kemampuan
yang dimilikinya. Dakwah yang menggunakan pendekatan monolog cenderung
melakukan indoktrinasi kepada jamaah. Padahal, Islam tidak hanya indoktrinasi,
melainkan juga pencerahan terhadap jamaah.
Ø Ketiga, menggunakan institusi yang bisa
diajak bersama dalam aksi. Para juru dakwah mesti menggunakan institusi sebagai
basis gerakan agar apa yang dilakukannya mendapatkan legitimasi yang lebih
kuat. Jaringan dan sumber daya tidak hanya milik sendiri, melainkan juga ada
pada orang lain, karena itu, institusi menjadi sesuatu yang penting untuk
menjadi basis dari gerakan sosial. Itu sebabnya, agar para juru dakwah lebih
mudah melakukan pendampingan masyarakat, mereka perlu menggunakan institusi
yang kuat.
Ø Keempat, ada wujud keberpihakan pada
mustad’afin. Para juru dakwah terketuk hatinya untuk melakukan usaha-usaha
sosial untuk kepentingan kaum tertindas di aerahnya semisal kasus penggusuran tanah,
pencemaran lingkungan, penggusuran nelayan dan petani. Rasa empati sosial
merupakan prasyarat bagi juru dakwah yang menggunakan pendekatan transformatif.
Ø Kelima, para juru dakwah melakukan advokasi
dan pengorganisasian masyarakat terhadap suatu kasus yang terjadi di daerahnya
agar nasib para petani, nelayan, buruh, dan kaum tertindas lainnya didampingi.
Inilah puncak dari para juru dakwah yang menggunakan pendekatan transformatif.
Hasil akhir dari dakwah transformatif adalah mencetak para juru dakwah yang
mampu melakukan pendampingan terhadap problem-problem sosial yang dihadapi
masyaraat.[12]
Dalam
konteks inilah, penyebaran dakwah di masyarakat mesti dilandasai oleh visi yang
benar tentang perdamaian, kesalehan sosial, dan sesuai dengan cita-cita agama
yang mendorong pada perubahan ekspresi beragama yang inklusif dan toleran. Di
sinilah, para aktivis dakwah (da’i) memiliki peranan yang strategis dalam
merubah pandangan keagamaan masyarakat. Sebab, pemahaman keagamaan masyarakat
biasanya sangat dipengaruhi oleh para juru dakwah (ustadz, daí, kyai). Pada
gilirannya, dengan kemampuan strategi dakwah yang memadai dan pemahaman
keagamaan yang luas (komprehensif), masyarakat sebagai objek dakwah akan
berubah cara pandang keagamaannya. Pada titik selanjutnya, wajah Islam di
Indonesia akan kembali seperti pada zaman awal Islam masuk ke Indonesia; berwajah
damai dan akomodatif terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat.
BAB III
KESIMPULAN
A.
KESIMPULAN
·
Struktural adalah kegiatan dakwah yang
menjadikan kekuasaan, birokrasi, kekuatan politik sebagai alat untuk
memperjuangkan Islam. Dalam penerapannya, kedua dakwah ini mempunyai beberapa
masalah. Namun tentunya ada cara-cara tersendiri yang dapat kita gunakan untuk
mengatasi masalah-masalah tersebut.
·
Dakwah kultular adalah dakwah yang
bersifat akomodatif terhadap nilai budaya tertentu secara inovatif dan kreatif
tanpa menghilangkan aspek subsatansial agama. Kedua, menekankan pentingnya
kearifan dalam memahami kebudayaan.
·
Dakwah transformatif merupakan model dakwah, yang tidak
hanya mengandalkan dakwah verbal (konvensional) untuk memberikan materi-materi
agama kepada masyarakat, yang memposisikan da’i sebagai penyebar pesan-pesan
keagamaan, tetapi menginternalisasikan pesan-pesan keagamaan ke dalam kehidupan
riil masyarakat dengan cara melakukan pendampingan masyarakat secara langsung.
Dengan demikian, dakwah tidak hanya untuk memperkukuh aspek relijiusitas
masyarakat, melainkan juga memperkukuh basis sosial untuk mewujudkan
transformasi sosial.
·
Dakwah rasional
merupakan esensi mengajak umat manusia untuk berfikir, melakukan dialog
sehingga membentuk arah pikiran serta menumbuhkan kesadaran. Dakwah rasional
juga memajukannya dalam tatanan proses logis sehingga mad’u dapat menerima
seruan da’i secara standar, tanpa paksaan dan tekanan.
·
Dakwah sentripetal dan sentripugal ialah
dua cara dakwah yang berorientasi pada pusat permaslaahn yang sedang dihadapi
oleh suatu kelompok. Dimana dakwah sentripental yaitu, dakwah yang mendekati
sasaran permasalahan mad’u. Sedangkan dakwah sentrifugal adalah dakwah yang
menjauhi sasaran permasalahan mad’u, dalam arti lain dakwah disini pen da’i
lebih bersifat otoriter terhadap mad’u.
DAFTAR
PUSTAKA
Ismail ,Ilyas, Filsafat Dakwah Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam, Jakarta: Kencana, 2011.
Siradji, Said Aqiel,
M.A., Islam Kebangsaan Fiqh
Demokratik Kaum santri, Jakarta : Pustaka Ciganjur ,
Cet. 1, 1999.
Amin ,Samsul Munir , Ilmu Dakwah, Jakarta: Amzah, 2009.
http:/ /kultur/Dakwah
Kultural dan Struktural Mahasiswa « Kammitasikmalaya’s Weblog.htm
Muhammad Sulthon, Desain Ilmu Dakwah Kajian Ontologis,
Epistemologis dan Aksiologis,
Ilyas Ismail, Filsafat
Dakwah Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam, Jakarta: Kencana, 2011.
Lihat, M. Nasir,
"Dakwah dan Tujuannya". Dalam Forum Dakwah, Kumpulan hasil
seminar
[1] Ismail, Ilyas, Filsafat
Dakwah Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam, Jakarta: Kencana,
2011.
Siradji,
Said Aqiel, Islam Kebangsaan Fiqh Demokratik Kaum santri, Jakarta : Pustaka Ciganjur , Cet. 1, 1999.
[3] Muhammad Sulthon, Desain Ilmu Dakwah Kajian Ontologis,
Epistemologis dan Aksiologis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Mei
2003, hlm. 34
[4] Muhammad Sulthon, Desain Ilmu Dakwah Kajian Ontologis,
Epistemologis dan Aksiologis, Yogyakarta:Pustaka Pelajar,
Mei 2003, hlm. 34
[10] The Encyclopedia
Americana, (canada: Americana Corporation, 1980), h. 455
[11] Lihat, Muhammad
Jalaluddin al- Qasimy, Mau’izat al-
mu’minin, Jilid 1, Beirut, tanpa tahun, h. 4
[12] Ibid, Op. Cit, h. 11
The Casino Experience at Mohegan Sun
BalasHapusMohegan Sun is now open! Experience the 보령 출장마사지 excitement of 포항 출장안마 Mohegan Sun and thousands 영천 출장샵 of other visitors 서산 출장샵 to 상주 출장안마 New England's largest hospitality industry.