Kamis, 02 Juni 2016

POLA DAKWAH



KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT, yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan-Nya, mungkin saya tidak akan sanggup menyelesaikan dengan baik. Tak lupa, shalawat serta salam semoga tercurah kepada junjungan besar, Nabi Muhammad SAW, para sahabat dan orang-orang yang setia meneladani Beliau. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Qur’an, serta dapat menjadi sumber referensi bagi pembaca mengenai Islam di Indonesia. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada bapak dosen, yang menjadi sumber inspirasi sekaligus banyak membantu dalam penulisan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca, khususnya wawasan tentang Agama Islam. Kami mohon untuk saran dan kritiknya.Terima Kasih




                                                                                                                                                                  






Banda Aceh, 24 januari 2014


BAB I
PENDAHULUAN
A.   LATAR BELAKANG
Dakwah adalah sebagai intepretasi konvensional yang umum berlaku pada umat islam. Diartikan secara prakmatis dengan tablig yaitu aktifitas penyampaian ajaran islam baik secara lisan maupun secara tulisan. Konsepsi dakwah bahwa masyarakat adalah sebuah sasaran yang harus diubah baik secara individual atau secara kelompok, kelemahan Mad’u adalah suatu kewajiban yang harus diketahui oleh Da’i supaya apa yang disampaikan oleh Da’i sesuai dengan keadaan.
Dan dakwah memiliki beberapa pola pendekatan yang harus diketahui oleh Da’i antara lain:
·         Dakwah struktural
·         Dakwah kultural
·         Dakwah sentripetal dan sentrifugal
·         Dakwah rasional
·         Dakwah tranformatif
Pelaksanaan dakwah merupakan suatu mandat yang secara normatif menjadi bagian suatu ibadah yang penting dalam islam dan menjadikan orang yang  melaksanakannya mendapat pahala serta tergolong kepada orang yang beruntung. Perintah berdakwah diturunkan menjadi dua konsekwensi yaitu fardhu kifayah dan fardhu ai’n. Realitas membuktikan bahwa dakwah merupakan kebutuhan dalam masyarakat sekaligus menjadi strategi pengembangan masyarakat yang sangat efektif.



BAB II
PEMBAHASAN

A.   Dakwah Struktural
Dakwah Struktural adalah gerakan dakwah yang berada dalam kekuasaan. Aktivis dakwah ini memanfaatkan struktur sosial, politik maupun ekonomi untuk mendakwahkan ajaran Islam. Jadi, dalam teori ini, negara dipandang sebagai alat yang pailing strategis untuk berdakwah. Di dalam dakwah struktural ini telah menyatakan suatu tesis bahwa dakwah yang sesungguhnya adalah aktivisme Islam yang berusaha mewujudkan negara yang berasaskan Islam.
Perkembangan dakwah struktural ini sudah dapat ditemukan pada gerakan politik umat Islam pada masa klasik. Sebagai contoh adalah penggulingan dinasti Umayyah dari kursi kekhalifahan yang dilakukan oleh eksponen dinasti abbasyiah yang mana itu dianggap sebagai gerakan dakwah. Hal yang sama juga telah dilakukan oleh Syi’ah Islamiyyah. Gerakan politiknya yang diawali dengan pengiriman para aktivis politik ke Afrika Utara sebagai langkah strategis bagi persiapan pembentukan dinasti Fatimiyyah yang akan didirikan di sana. Bahkan, istilah dakwah juga telah dipakai untuk menyebut wilayah politik dinasti Fatimiyyah.[1]
a.    Konsep Dakwah Struktural
Dakwah Struktural menekankan pada tercapainya tujuan dakwah tersebut.
Ciri dari dakwah ini adalah :
1.      Menggunakan rasionalisasi akal dari pada dalil.
2.      Lebih menekankan pemaksaan dan kondisi sehingga sang mad’u belum tentu memiliki kesadaran.
3.      Mengharuskan sang dai masuk ke struktur.
Contoh dakwah struktural ini adalah : Ikhwah di Struktur kampus membuat kebijakan untuk mencegah acara yang berbau maksiat Misal membuat jam malam.
·         Menyikapi Dakwah Kultural dan Struktural
Dakwah Kultular dan dakwah struktural masing-masing berbeda. Masing-masing mempunyai strategi sendiri-sendiri dalam penguatannya. Jika kedua dakwah ini bergabung maka dakwah akan melengkapi satu sama lain. Namun dalam penerapannya, kedua dakwah ini pun tidak terlepas dari berbagai masalah. Sebagai contoh adalah permasalahan ekonomi. Ketidak merataan ekonomi membuat kedua dakwah ini mengalami hambatan. Selain dari permasalahan ekonomi tersebut mengakibatkan ketimpangan pertumbuhhan agama di Indonesia. Setidaknya ada dua hal yang dapat kita cermati dari masalah-masalah tersebut yaitu : pertama, adanya “efektivitas” dakwah suatu agama yang ternyata tumbuh lebih cepat dengan didukung oleh penerapan metode dan sarana yang memadai. Kedua, di lain pihak khususnya dalam umat Islam, terjadi situasi “ketinggalan” seperti ditunjukkan oleh penurunan relatif dari pemeluknya yang disebabkan oleh kurangnya pengkajian penerapan metode dakwah “tepat guna dan kreatif” serta kurangnya sarana yang memadai.
Selain dari masalah-masalah di atas, ada pula masalah-masalah lain yang ditimbulkan, yaitu :
1.      Adanya oerientasi ekslusif yang ikut memperkokoh dikotomi santri dan non santri.
2.      Lemahnya pranata dan mekanisme jaringan yang menghubungkan antar subkultural di masyarakat.
3.      Adanya potensi yang masih belum cukup dikembangkan, untuk umat Islam di antaranya dalam rangka mengembangkan pendidikan pesantren.
4.      Tenaga kerja yang melimpah dan keterbatasan lapangaan pekerjaan.
Tentunya masalah-masalah yang menghambat dakwah bukan saja permasalahan-permasalahan yang tertera di atas. Namun tentunya masih banyak lagi permasalahan-permasalahan yang bisa kita kaji sendiri. Kemudian, dalam menyikapi berbagai masalah di atas, seorang subjek dakwah harus pandai-pandai mengambil tindakan dalam menyelasaikan masalah-masalah di atas.
Al-Quran dan Sunnah memuat ajaran yang menuntut setiap muslim untuk berdakwah, baik dalam arti sempit maupun luas. Dalam pengertian luas, dakwah bukan hanya, menjadi tuntutan agama semata, tetapi juga tuntutan kemanusiaan dan kebenaran universal. Kemudian dalam pengertian sempit yaitu dalam penyelesaian problem-problem kemanusiaan yang mana di dalamnya termasuk problem sosial.[2]
Berikut adalah beberapa strategi di mana dakwah bisa menyelesaikan problem-problem yang ada :
1.      Dakwah harus dimulai dengan mencari kebutuhan masyarakat. Kebutuhan yang dimaksud adalah kebutuhan secara objektif dan kebutuhan yang dirasakan masyarakat setempat yang perlu mendapat perhatian.
2.      Dakwah dilakukan secara terpadu.
3.      Dakwah dilakukan dengan pendekatan partisipasi dari bawah. Hal ini bertujuan bahwa ide yang ditawarkan mendapat kesepakatan masyarakat.
4.      Dakwah dilaksanakan melalui proses sistematika pemecahan masalah.
5.      Dalam berdakwah gunakanlah teknologi yang sesuai dan tepat.
6.      Program dakwah dilaksanakan melalui tenaga dai yang bertindak sebagai motivator.
7.      Dakwah didasarkan atas asas kerjasama. Hal ini bermaksud bahwa dakwah harus berangkat dari kemampuan diri sendiri dan kerjasama dari potensi-potensi yang ada. Dan bentuan dari pihak luar hanya dijadikan menjadi pelengkap saja. [3]

B.     Dakwah Kultural
Dakwah kultural adalah Dakwah yang dilakukan dengan cara mengikuti budaya-budaya kultur masyarakat setempat dengan tujuan agar dakwahnya dapat diterima di lingkungan masyarakat setempat.
Dakwah kultural juga bisa berarti: Kegiatan dakwah dengan memperhatikan potensi dan kecenderungan manusia sebagai makhluk budaya secara luas dalam rangka menghasilkan kultur baru yang bernuansa Islami atau kegiatan dakwah dengan memanfaatkan adat, tradisi, seni dan budaya lokal dalam proses menuju kehidupan Islami.
Dakwah kultural ini hukumnya sah-sah saja asal tidak bertentangan dengan nilai-nilai syar’i yang sudah baku, misalnya masalah aqidah. Sebab apabila dakwah yang kita anggab kultural ini kemudian kita salah menafsirkannya, maka yang terjadi adalah kefatalan. Misalnya saja kita berdakwah dengan harus mengikuti budaya agama lain yang dapat menggugurkan nilai aqidah kita, maka dakwah semacam ini tidak boleh dilakukan.
Sejarah dakwah kultural sebagaimana yang dilakukan di awal Islam masuk ke wilayah Jawa, dimana bangsa Indonesia saat itu kaya dengan tradisi animisme dan dinamisme, maka para pelaku dakwah kita yang terlalu lentur dalam menjalankan dakwah kulturalnya mengakibatkan ajaran Islam yang sudah sempurna menjadi terkotori oleh budaya setempat. Hal ini merupakan kesalahan fatal yang tidak boleh dicontoh dalam melakukan dakwah.
Semaraknya ibadah bid’ah yang ada sekarang adalah merupakan warisan dari metode dakwah kultural yang diterapkan tanpa memperhatikan nilai-nilai aqidah. Sementara itu bagi penggemar bid’ah yang merasa itu sudah benar sulit diingatkan. Demikian juga dengan ulama’ ahlul bid’ahnya, mereka tidak berani mengatakan yang sebenarnya bahwa ibadah yang dilakukan itu bertentangan dengan nilai nilai aqidah Islam. Semoga allah memberikan ampunan bagi para da’i kita, yang kami yakin bahwa, mereka tidak punya tujuan untuk mewarisi bid’ah sebagaimana yang banyak di anut oleh kelompok ahlul bid’ah sekarang.
Dakwah kultural sebenarnya merupakan metode yang baik untuk dilakukan baik di masyarakat desa maupun di lingkungan masyarakat kota, baik yang berfikiran primitif maupun yang sudah modern.
KH. Ahmad Dahlan termasuk sosok muballigh yang dalam menyampaikan dahwahnya dengan menggunakan metode dakwah kultural pada sekitar tahun 1912-san. Karena beliau menyadari bahwa metode dakwah yang tepat saat itu hanyalah metode dakwah kultural. Namun karena kehati-hatiannya dengan masalah aqidah, walaupun menggunakan metode dakwah kultural, tetap nilai-nilai Islam tidak terlukai oleh model dakwah yang dilakukan. Justru sebaliknya dengan dakwah itulah, maka beliau dapat membersihkan nilai-nilai ajaran Islam dari pengaruh budaya kultural setempat. Model dakwah kultural sebagaimana diterapkan KH. Ahmad Dahlan inilah yang harus kita contoh :
·         Contoh dakwah kultural
Islam sebagai agama yang menyebar ke seluruh penjuru dunia tampil secara kreatif berdialog dengan masyarakat setempat (lokal), berada dalam posisi yang menerima kebudayaan lokal, sekaligus memodifikasinya menjadi budaya baru yang dapat diterima oleh masyarakat setempat dan masih berada di dalam jalur Islam. Karena itu, Islam telah mengubah kehidupan sosio-budaya dan tradisi keruhanian masyarakat Indonesia. Kedatangan Islam merupakan pencerahan bagi kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia, karena Islam sangat mendukung intelektualisme yang tidak terlihat pada masa Hindu-Budha.[4]
Islam masuk ke Indonesia melalui jalan dakwah yang panjang yang dilakukan oleh para juru dakwah dari bebeberapa negara, seperti bangsa Arab dan Gujarat. Dakwah Islam yang dilakukan para juru dakwah di masa awal-awal Islam masuk ke Indonesia berhasil menaklukkan hati masyarakat Indonesia yang waktu itu menganut agama kepercayaan, Hindu dan Budha. Keberhasilan para juru dakwah di abad ke-16-17 itu lebih banyak disebabkan oleh cara dakwah mereka yang menunjukkkan hubungan yang dialogis, akomodatif, dan adaptif terhadap masyarakat setempat. Inilah yang kemudian menyebabkan Islam mudah diterima oleh masyarakat Indonesia.
Para juru dakwah ketika itu memainkan penting sebagai penyebar agama hingga pengayom masyarakat. Sehingga hubungan antara juru dakwah dengan masyarakatnya sangat dekat, tanpa sekat yang menjauhkan antara keduanya. Hal inilah yang ditunjukkan oleh gerakan dakwah yang dilakukan Walisongo dengan memasukkan unsur-unsur Islam ke dalam budaya lokal untuk menarik simpati dari masyarakat. Walisongo menyebarkan Islam di Indonesia tidak dengan menggunakan pendekatan halal-haram, melainkan memberikan spirit dalam setiap upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat. Sehingga Islam kemudian bercampur dengan kebiasaan-kebiasaan dan adat istiadat masyarakat secara substansial. Tak pelak lagi, kondisi inilah yang kemuduian memudahkan penyebaran Islam ke segala dimensi kehidupan masyarakat.
Dalam sejarah memang, juru dakwah pada awalnya menjadi kultural broker atau makelar budaya (Clifford Geertz). Bahkan, berdasarkan penelitiannya di Garut, Hiroko Horikoshi (1987) memberi penegasan, bahwa peran kyai sekaligus sebagai juru dakwah tidak sekadar sebagai makelar budaya, tetapi sebagai kekuatan perantara (intermediary forces), sekaligus sebagai agen yang mampu menyeleksi dan mengarahkan nilai-nilai budaya yang akan memberdayakan masyarakat. Fungsi mediator ini dapat juga diperankan untuk membentengi titik-titik rawan dalam jalinan yang menghubungkan sistem lokal dengan keseluruhan sistem yang lebih luas (Wolf, 1956), dan sering bertindak sebagai penyanggga atau penengah antara kelompok-kelompok yang saling bertentangan, menjaga terpeliharanya daya pendorong dinamika masyarakat yang diperlukan (Wolf, 1956).[5]
Berdasarkan fungsi ini, para juru dakwah memiliki basis yang kuat untuk memerankan sebagai mediasi bagi perubahan sosial melaui aktivitas pemberdayaan (umat), seperti advokasi terhadap pelanggaran hak-hak rakyat oleh negara. Contoh yang paling konkret adalah ketika KH. Basith mengadvokasi petani tembakau di Guluk-Guluk Madura. KH. Basith sebagai kyai dan juru dakwah mampu memainkan peran ganda; sebagai ahli agama sekaligus sebagai pendamping masyarakat yang sedang mengalami problem sosial. Ini adalah bentuk dari peran juru dakwah sebagai agen perubahan sosial.
C.    Dakwah sentripetal dan sentrifugal
     Secara bahasa Hornby memberikan definisi sentripetal adalah “moving or tending to move toward a centre” (berpindah atau kecenderungan bergerak  menuju pusat )[6]. Sedangkan sentri fugal adalah “ moving or tanding to move away from a centre” [7] (berpindah atau cenderung bergerak menjauhi  pusat ).
       Istilah sentrifugal dan sentripetal diderivikasi dari hukum gaya newton (sering disebut hukum Newtom 1 dan 3) dalam ilmu fisika . Ensiklopedi  Nasional  Indonesia  menjelaskan bahwa benda yang bergerak kecuali ada gaya lain yang bekerja padanya. [8] Jika suatu benda diharapkan bergerak secara melingkar, maka dibutuhkan gaya lain yang akan menjaga agar benda tersebut tetap pada orbitnya, maka benda tersebut akan bergerak lurus pada kecepatan konstan[9].
Menyangkut gaya sentrifugal dan sentripetal, dalam encyclope americana disebutkan: Bahwa setiap hukum Newton I akan terus bergerak lurus kecuali ada gaya yang bekerja padanya. Dengan demikian, jika suatu benda diharapkan terus melingkar maka diperlukan gaya yang akan menjaga  gerak melingkar tersebut seperti gaya grafitasi yang mengontrol gerak satelit dan bintang atau gaya yang digunakan tangan seseorang memutar sebuah bola pada ujung seutas tali. Gaya inilah yang menyebabkan suatu benda tetap berputar pada garis orbitnya yang disebut dengan gaya sentripetal. Hukum Newton III menyatakan bahwa ketika dua buah benda saling beraksi, maka senantiasa ada reaksi yang sama besar tetapi berlawanan arah. Dengan demikian, bersamaan dengan gaya sentripetal yang timbul pada seutas tali ketika tangan seseorang memutar bola, maka pada saat itu pula muncul gaya yang berlawanan (sentrifugal) dari bola yang ingin melepaskan diri dari tangan orang tersebut. Oleh sebab itu, gaya sentripetal dan gaya sentrifugal bukanlah dua gaya sehingga dapat muncul secara terpisah tetapi lebih tepat dikatakan dua aspek dari satu kejadian.
     Dakwah sentripetal memposisikan Mad’u sebagai pihak yang bebas (free consent), kritis terhadap seruan, mengembangkan kreatifitas berfikir serta  mendorong Mad’u memiliki sense of belonging terhadap aktifitas dakwah. Sense of belonging disini lebih tepat di artikan bahwa Mad’u merasa da’wah sebagai suatu kebutuhan dasar yang mengajaknya untuk mengenal dirinya.
     Yang dimaksud dengan pendekatan dakwah sentripetal yaitu sebagai aktifitas dakwah yang berorientasi pada kepentingan Mad’u. Artinya Mad’u memiliki peluang yang lebih besar untuk memberikan input kepada Da’i, secara eksplisit dan implisit sehingga Da’i dapat membaca kondisi si Mad’u secara total. Selanjutnya perencanaan dakwahnya senantiasa terhindar dari sikap interfentif (penolakan) yang memposisi Da;i sebagai orang yang asing sama sekali tidak terkait apa yang di rasakan dan dibutuhkan oleh Mad’u.
            Sebaliknya dakwah sentrifugal dalam konteks dakwah Islam dirumuskan sebagai suatu aktifitas dakwah yang memiliki kecendrungan penciptaan otoritas pada pihak Da’i secara sepihak. Sifat otoritarian inilah yang akan membelenggu pihak sasaran atau Mad’u untuk menerima ide atau gagasan, ajakan, bahkan perintah dari Da’i secara fait accompli10otoritas da’i dalam melakukan intervensi tersebut, cendrung menjadi Mad’u semakin menjauhi pihak subjek itu sendiri.[10]
D.    Dakwah Rasional
            Dakwah rasional dapat dirumuskan sebagai pola dakwah yang mengedepankan dimensi intelektualitas dalam aktifitasnya. Dakwah rasional juga mengarah pada penggunaan intelektual secara kritis, tidak bersifat dogmatis, serta tidak mengabaikan sikap toleransi terhadap realitas sasarannya. Dalam kaitan ini, Dr. Muddathir Abdel-Rahim berpendapat bahwa da’wah idealnya diarahkan pada dimensi intelektualitas dan amosi sasaran (dakwah Islam secara komprehensif dapat diartikan sebagai kegiatan yang diarahkan langsung pada kapasitas intelektual dan rangsanngan manusia, baik secara individual maupun kelompok agar dapat menerima Islam sebagai jalan hidupnya).
            Pendekatan dakwah rasional mengandung esensi mengajak umat manusia untuk berfikir, melakukan dialog sehingga membentuk arah pikiran serta menumbuhkan kesadaran. Dakwah rasional juga memajukannya dalam tatanan proses logis sehingga Mad’u dapat menerima seruan Da’i secara standar, tanpa paksaan dan tekanan. Sebaliknya, bila kesadaran Mad’u terganggu, termasuk karena kelalaian atau kesalahan penataan proses, maka konsekwensinya adalah gagal atau berantakannya rencana dakwah itu sendiri. Dakwah bukanlah kerja “magic” yang dapat menyulap Mad’u secara leluasa, melainkan suatu proses pendekatan yang memberikan peluang kepada Mad’u mempertimbangkan dan memutuskan untuk menerima atau menolakseruan. Keputusan Mad’u tersebut terlebih dahulu melewati pertimbangan terhadap alternatif-alternatif yang ditawarkan da’i, pertimbangan yang seksama dan objektif terhadap fakta dan bukti yang ada.
            Dakwah Rasional disini mengacu pada upaya perumusan dakwah yang koheren dengan kemajuan sains dan teknologi. Kemajuan sains dan teknologi yang sarat dengan gejala rasionalisasi dan dinamisasi membutuhkkan penghayatan agama secara tekstual dan kontekstual (teoritis dan pragmatis) sekaligus menjadi tugas dakwah yang memang dalam aktifitasnya menyuarakan kepentingan normatifitas al-Qur’an. Pembahasan dakwah rasional dalam tesis ini tidak sepenuhnya terkonsentrasi pada langkah pengalaman, tetapi diharapkan akan membuka peluang-peluang asumsi-asumsi filosofis baru terhadap dakwah secara teoritis atau menggiring dakwah pada tataran yang aplikatif yang mampu menyuarakan persoalan-persoalan agama secara ilmiah dan rasional. Penelitian itu sendiri akan dibatasi pada persoalan kontruksi pesan-pesan islam terutama yang langsung bersentuhan dengan sains dan teknologi, baik dari aspek penterjemahan pesan-pesan yang berkenaan dengan sains dan teknologi maupun kontruksi pesan “utama” islam yang layak di tawarkan kepada umat manusia yang sekarang tidak mungkin melepaskan diri dari dampak kemajuan sains dan teknologi. Dakwah
            Dakwah rasional menjadi sebuah paradigma dimana nuansa aktifitasnya bergerak secara sirkular dengan melibatkan berbagai dimensi keilmuan lain dalam kaitan memelihara keselarasan atau paralelisme hubungan antara Da’i dan Mad’u. Dakwah pada dimensi rasionalitas bermuara pada interaksi yang menyeluruh yang berupaya menerjemahkan pesan-pesan islam secara totalitas serta peng-islam-an manusia dengan memanfaatkan modal fitrah yang ada pada setiap diri manusia semenjak dilahirkan.
E.     Dakwah Transformatif
Dakwah transformatif merupakan model dakwah, yang tidak hanya mengandalkan dakwah verbal (konvensional) untuk memberikan materi-materi agama kepada masyarakat, yang memposisikan da’i sebagai penyebar pesan-pesan keagamaan, tetapi menginternalisasikan pesan-pesan keagamaan ke dalam kehidupan riil masyarakat dengan cara melakukan pendampingan masyarakat secara langsung. Dengan demikian, dakwah tidak hanya untuk memperkukuh aspek relijiusitas masyarakat, melainkan juga memperkukuh basis sosial untuk mewujudkan transformasi sosial. Dengan dakwah transformatif, Da’i diharapkan memiliki fungsi ganda, yakni melakukan aktivitas penyebaran materi keagamaan dan melakukan pendampingan masyarakat untuk isu-isu korupsi, lingkungan hidup, penggusuran, hak-hak perempuan, konflik antaragama, dan problem kemanusiaan lainnya.
Ada lima (5) indikator yang mesti melekat dalam dakwah transformatif.
Ø  Pertama, dari aspek materi dakwah; ada perubahan yang berarti; dari materi ubudiyah ke materi sosial. Dalam konteks ini, para juru dakwah sudah mulai menambah materi dakwahnya pada isu-isu sosial, seperti korupsi, kemiskinan, dan penindasan. Sehingga para juru dakwah tidak lagi hanya berkutat pada materi ukhrowi. Dari aspek materi juga ada perubahan dari materi dakwah yang ekslusif ke inklusif. Para juru dakwah tidak lagi menyampaikan materi dakwah yang memojokkan atau memusuhi non-Muslim. Kecenderungan selama ini para juru dakwah sering menyampaikan dakwah yang bernada permusuhan terhadap agama lain. Padahal cara ini justru mmbuat masyarakat ikut memusuhi agama lain hanya karena agamanya yang berbeda. Oleh karena itu, materi dakwah yang inklusif mesti menjadi kata kunci dalam dakwah transformatif.[11]
Ø  Kedua, dari aspek metodologi terjadi perubahan; dari model monolog ke dialog. Para juru dakwah sudah berubah cara penyampaian dakwahnya, tidak lagi menggunakan pendekatan monolog, melainkan sudah melakukan dialog langsung dengan jama’ah. Sehingga problem yang dihadapi masyarakat dapat langsung dicarikan solusinya oleh juru dakwah dengan kemampuan yang dimilikinya. Dakwah yang menggunakan pendekatan monolog cenderung melakukan indoktrinasi kepada jamaah. Padahal, Islam tidak hanya indoktrinasi, melainkan juga pencerahan terhadap jamaah.


Ø  Ketiga, menggunakan institusi yang bisa diajak bersama dalam aksi. Para juru dakwah mesti menggunakan institusi sebagai basis gerakan agar apa yang dilakukannya mendapatkan legitimasi yang lebih kuat. Jaringan dan sumber daya tidak hanya milik sendiri, melainkan juga ada pada orang lain, karena itu, institusi menjadi sesuatu yang penting untuk menjadi basis dari gerakan sosial. Itu sebabnya, agar para juru dakwah lebih mudah melakukan pendampingan masyarakat, mereka perlu menggunakan institusi yang kuat.
Ø  Keempat, ada wujud keberpihakan pada mustad’afin. Para juru dakwah terketuk hatinya untuk melakukan usaha-usaha sosial untuk kepentingan kaum tertindas di aerahnya semisal kasus penggusuran tanah, pencemaran lingkungan, penggusuran nelayan dan petani. Rasa empati sosial merupakan prasyarat bagi juru dakwah yang menggunakan pendekatan transformatif.
Ø  Kelima, para juru dakwah melakukan advokasi dan pengorganisasian masyarakat terhadap suatu kasus yang terjadi di daerahnya agar nasib para petani, nelayan, buruh, dan kaum tertindas lainnya didampingi. Inilah puncak dari para juru dakwah yang menggunakan pendekatan transformatif. Hasil akhir dari dakwah transformatif adalah mencetak para juru dakwah yang mampu melakukan pendampingan terhadap problem-problem sosial yang dihadapi masyaraat.[12]







Dalam konteks inilah, penyebaran dakwah di masyarakat mesti dilandasai oleh visi yang benar tentang perdamaian, kesalehan sosial, dan sesuai dengan cita-cita agama yang mendorong pada perubahan ekspresi beragama yang inklusif dan toleran. Di sinilah, para aktivis dakwah (da’i) memiliki peranan yang strategis dalam merubah pandangan keagamaan masyarakat. Sebab, pemahaman keagamaan masyarakat biasanya sangat dipengaruhi oleh para juru dakwah (ustadz, daí, kyai). Pada gilirannya, dengan kemampuan strategi dakwah yang memadai dan pemahaman keagamaan yang luas (komprehensif), masyarakat sebagai objek dakwah akan berubah cara pandang keagamaannya. Pada titik selanjutnya, wajah Islam di Indonesia akan kembali seperti pada zaman awal Islam masuk ke Indonesia; berwajah damai dan akomodatif terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat.













BAB III
KESIMPULAN

A.    KESIMPULAN

·         Struktural adalah kegiatan dakwah yang menjadikan kekuasaan, birokrasi, kekuatan politik sebagai alat untuk memperjuangkan Islam. Dalam penerapannya, kedua dakwah ini mempunyai beberapa masalah. Namun tentunya ada cara-cara tersendiri yang dapat kita gunakan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut.

·         Dakwah kultular adalah dakwah yang bersifat akomodatif terhadap nilai budaya tertentu secara inovatif dan kreatif tanpa menghilangkan aspek subsatansial agama. Kedua, menekankan pentingnya kearifan dalam memahami kebudayaan.

·         Dakwah transformatif merupakan model dakwah, yang tidak hanya mengandalkan dakwah verbal (konvensional) untuk memberikan materi-materi agama kepada masyarakat, yang memposisikan da’i sebagai penyebar pesan-pesan keagamaan, tetapi menginternalisasikan pesan-pesan keagamaan ke dalam kehidupan riil masyarakat dengan cara melakukan pendampingan masyarakat secara langsung. Dengan demikian, dakwah tidak hanya untuk memperkukuh aspek relijiusitas masyarakat, melainkan juga memperkukuh basis sosial untuk mewujudkan transformasi sosial.

·         Dakwah rasional merupakan esensi mengajak umat manusia untuk berfikir, melakukan dialog sehingga membentuk arah pikiran serta menumbuhkan kesadaran. Dakwah rasional juga memajukannya dalam tatanan proses logis sehingga mad’u dapat menerima seruan da’i secara standar, tanpa paksaan dan tekanan.

·         Dakwah sentripetal dan sentripugal ialah dua cara dakwah yang berorientasi pada pusat permaslaahn yang sedang dihadapi oleh suatu kelompok. Dimana dakwah sentripental yaitu, dakwah yang mendekati sasaran permasalahan mad’u. Sedangkan dakwah sentrifugal adalah dakwah yang menjauhi sasaran permasalahan mad’u, dalam arti lain dakwah disini pen da’i lebih bersifat otoriter terhadap mad’u.




















DAFTAR PUSTAKA

Ismail ,Ilyas, Filsafat Dakwah Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam, Jakarta: Kencana, 2011.
Siradji, Said Aqiel, M.A., Islam Kebangsaan Fiqh Demokratik Kaum santri, Jakarta : Pustaka Ciganjur , Cet. 1, 1999.
Amin ,Samsul Munir , Ilmu Dakwah, Jakarta: Amzah, 2009.
http:/ /kultur/Dakwah Kultural dan Struktural Mahasiswa « Kammitasikmalaya’s Weblog.htm
Muhammad Sulthon, Desain Ilmu Dakwah Kajian Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis,
Ilyas Ismail, Filsafat Dakwah Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam, Jakarta: Kencana, 2011.
            Lihat, M. Nasir, "Dakwah dan Tujuannya". Dalam Forum Dakwah, Kumpulan hasil seminar


[1] Ismail, Ilyas, Filsafat Dakwah Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam, Jakarta: Kencana, 2011.
Siradji, Said Aqiel,  Islam Kebangsaan Fiqh Demokratik Kaum santri, Jakarta : Pustaka Ciganjur , Cet. 1, 1999.

[2] Amin, Samsul Munir,  Ilmu Dakwah, Jakarta: Amzah, 2009.
[3] Muhammad Sulthon, Desain Ilmu Dakwah Kajian Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Mei 2003, hlm. 34
                                               
[4] Muhammad Sulthon, Desain Ilmu Dakwah Kajian Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, Mei 2003, hlm. 34

5KH. Said Aqiel Siradji, Islam Kebangsaan Fiqh Demokratik Kaum santri, Jakarta : Pustaka  Ciganjur , Cet. 1, 1999, hlm. 35.
6 AS hornby, Oxford University press, 1955, h. 180
7 AS hornby, Oxford advencet h.180
8  Ensiklopedi Nasional Indonesia,cet IV,(bekasi:Delta Pamunngkas, 2004 h. 531)
9  Ensiklopedi Nasional Indonesia
[10] The Encyclopedia Americana, (canada: Americana Corporation, 1980), h. 455

[11] Lihat, Muhammad Jalaluddin al- Qasimy, Mau’izat al- mu’minin, Jilid 1, Beirut, tanpa tahun, h. 4
[12] Ibid, Op. Cit, h. 11

1 komentar:

  1. The Casino Experience at Mohegan Sun
    Mohegan Sun is now open! Experience the 보령 출장마사지 excitement of 포항 출장안마 Mohegan Sun and thousands 영천 출장샵 of other visitors 서산 출장샵 to 상주 출장안마 New England's largest hospitality industry.

    BalasHapus